Pages

Monday, November 16, 2015

Teori Ekologi Bronfenbrenner


Artikel ini didasarkan dari buku Psikologi Pendidikan oleh Santrock (2011).

Teori Ekologi merupakan teori yang wajib dikuasai oleh Psikolog pendidikan. Why? Karena teori ini benar-benar melihat seorang siswa atau anak secara keseluruhan dari konteks sosialnya. Pengajar yang baik ialah pengajar yang dapat mengerti siswanya.. mengenalnya secara betul. Jadi, yuk kenalan sama siswa kita :)

Apa saja sih aspek-aspek dalam Teori Ekologi?

Bronfenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai pada pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrenner (1995, 2000; Bronfenbrenner & Morris, 1998 dalam Santrock, 2011) menyebut sistem-sitem itu sebagai mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem


Mikrosistem adalah sebuah setting  dimana individu menghabiskan banyak waktu. Konteks yang dimaksud dalam sistem ini adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Pada mikrosistem ini, individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru, teman sebaya, dan orang lain di sekitarnya. Menurut Bronfenbrenner, murid bukan penerima pengalaman secara pasif di dalam setting ini, tetapi murid adalah orang yang berinteraksi secara timbal  balik dengan orang lain dan membantu mengkonstruksi setting tersebut. 

Mesosistem adalah kaitan antar-mikrosistem, seperti hubungan antara pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah, dan antara keluarga dan teman sebaya. Misal, salah satu  mesosistem penting adalah hubungan antara sekolah dan keluarga. Bingung? Okay, untuk memahami hal ini.. mari perhatikan penelitian berikut:
  • Dalam sebuah studi terhadap seribu anak kelas 3 SMP, diteliti dampak gabungan dari pengalaman di keluarga dan di sekolah terhadap sikap dan prestasi murid saat murid melewati transisi dari tahun terakhir SMP ke awal SMA (Epstein, 1983 dalam Santrock, 2011). Murid yang diberi kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan, entah itu di rumah atau di kelas, menunjukkan inisiatid dan nilai akademik yang lebih baik.
  • Dalam sebuah studi mesosistem lain, murid SMP dan SMA berbartisipasi dalam sebuah program y ang didesain untuk menghubungkan keluarga, teman, sekolah, dan orang tua (Cooper, 1995 dalam Santrock, 2011). Target dari program ini adalah murid dari kalangan Latino dan Afrika-Amerika di keluarga kelas menengah ke bawah. Para murid mengatakan bahwa program tersebut membantu mereka menjembatani kesenjangan antardunia sosial yang berbeda. Banyak murid dalam program ini memandang sekolah dan lingkungan mereka sebagai konteks dimana mereka diperkirakan akan gagal dalam studi, menjadi hamil dan keluar dari sekolah, atau berperilaku nakal. Program ini memberi murid harapan dan tujuan moral untuk melakukan "sesuatu yang baik bagi masyarakat", seperti bekerja di komunitas dan mengajak saudara untuk bersekolah.
Jadi, mesosistem ini adalah sikap atau pemahaman yang dimiliki seseorang dari gabungan pengalaman yang terjadi di mikrosistem-mikrosistemnya. kurang lebih seperti itu ;)

Ekosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain (dimana murid tidak berperan aktif) mempengaruhi pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misal, dewan sekolah dan dewan pengawas taman di dalam sebuah komunitas. Mereka memegang peranan kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, gasilitas rekreasi, dan perpustakaan. Keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak. So, hati-hati ya dalam memilih pemimpin hehehe

Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas dimana murid dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat. Misalnya, beberapa kultur (seperti di negara islam semacam Mesir atau Iran), menekankan pada peran gender tradisional. Kultur lain (seperti di AS), menerijma peran gender yang lebih bervariasi. Di kebanyakan negara Islam, sistem pendidikannya mempromosikan dominasi pria. Di Amerika, sekolah-sekolah semakin mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita. 
Salah satu aspek dari status sosioekonomi murid adalah gaktor perkembangan dalam kemiskinan. Kemiskinan dapat mempengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka untuk belajar, meskikun beberapa anak di lingkungan yang miskin sangat ulet. 

Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Misal, murid-murid sekarang ini tumbuh sebagai generasi yang tergolong pertama (Louv, 1990 dalam Santrock, 2011). Anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang mendapatkan perhatian setiap hari, generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik  yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, generasi pertama yang tumbuh dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang tumbuh di dalam kota yang semrawut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas batas antara kota, pedesaan, atau subkota. 

Teori ini memberikan perhatian pada konteks sosial secara sistematis (baik di tingkat mikro maupun makro), juga menjembatani gap antara teori behavioral yang berfokus pada setting kecil dan teori antropologi yang menganalisis setting lebih luas. Teorinya memicu perhatian orang pada arti penting kehidupan anak dalam banyak setting. Namun, pengkritik dari teori Bronfenbrenner ini menyatakan bahwa teorinya tidak banyak memberi perhatian pada faktor biologis dan kognitif dalam perkembangan anak. 

REFERENSI
Santrock, John W. (2011). Psikologi pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Kencana



Demikianlah penjelasan tentang Teori Ekologi by Urie Bronfenbrenner (1917- ) ini. Sampai jumpa di artikel berikutnyaa~
anyeoooong! 

-buy

Sunday, November 15, 2015

neko atsume

best game eveeeeeerrrr xD *just played 2 days ago* hahahaha
love it sooo much and i really have the urge to post it in this blog!
mew meeooww maw maaww ~
<3



Serra -- Bagian 1



Wajah tua itu tersenyum dalam tidurnya, terdengar sedikit dengkuran pada nafasnya. Helai-helai putih pada rambutnya bertambah banyak, kerutan diwajahnya juga semakin menebal. Bagaimana tidak? Hasil penjualan dari toko roti keluarga itu menurun drastis setelah adanya invasi dari kerajaan militan di perbatasan tiga bulan yang lalu. Warga sekitar lebih memilih untuk berhemat dan membeli makanan pokok, seperti beras, menyimpan apa yang dimiliki untuk antisipasi kemungkinan terburuk. Toko roti yang biasa ramai oleh orang-orang beragam itu, kini menjadi sepi, hanya tersisa beberapa pelanggan tetap yang masih meminta pesanan. Itupun kadang belum bisa menutupi modal yang dikeluarkan dalam satu hari. Rugi. Tapi paling tidak, suasana pondok kayu itu kembali pada fungsi utamanya -- seperti rumah biasa yang hangat dan nyaman. Walaupun penghuni pondok itu tinggal seorang ayah dan satu putrinya saja. 

Masih mengintip ayahnya dari balik tirai, Serra, menampakkan wajah lelah dan pundak yang tak lagi tegak. Jerawatnya juga tidak kalah banyak dengan beban yang ia rasakan, yang berhasil membuatnya gagal menutup mata semalaman. Sisa bau hujan tadi malam menulusuri lubang hidung dan saluran pernafasannya saat ia menarik nafas panjang, menelan bulat-bulat kegelisahan yang seakan-akan ada di depan mata. Serra teringat percakapan seminggu yang lalu, saat sarapan pagi di ruang saji, saat usulannya yang baru saja tersaji langsung dimuntahkan oleh ayahnya. 

"Yah, bagaimana kalau kita ikut jual beras saja!? Bulan ini aku ingin makan enak.."
"Ayah tidak mau menambah persaingan penjual beras yang sudah sangat ketat.. Lagian, ini bisnis keluarga yang sudah terkenal di kota. Ayah tidak mau menukar brand yang sudah susah payah dirintis oleh Nenek dan Kakekmu dengan sejumlah keuntungan yang belum pasti."
"Oh, ayolaah.." keluhan itu hanya dijawab dengan dehem singkat dari ayahnya yang dilanjutkan dengan suara sruputan teh panas.

Perempuan 20 tahun yang tampak seperti anak 15 tahun itu hanya bisa menguap jengkel di sela-sela tirai kamar ayahnya, mengurungkan niat jahil untuk menyelipkan tiruan serangga dari bahan karet yang sudah siap di saku daster batiknya. Tapi bukan makan enak yang kali ini ia pikirkan, ada hal lain -- sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi oleh ayahnya. Surat itu. Surat yang terbalut dalam kain berwarna biru.

****

Dapur dalam pondok itu memiliki kesan tua dan tradisional. Beberapa bagian dari kayunya sudah sedikit lapuk dan berlumut. Tungkunya sudah mengerak dan berwarna tidak jelas kecoklatan. Serra meraih panci yang tidak kalah tuanya dengan tungku itu, dua cangkir keramik, dan toples berisi madu. Memilin-milin jari sambil menunggu air mendidih, ia masih memikirkan yang tidak pernah terpikirkan. Surat dalam kain biru itu masih menghantuinya. Apa semua akan baik-baik saja kalau aku pergi? | Siapa yang akan menemani Ayah nanti? | Bagaimana nasib toko roti ini? | Kamu tega? | Bagaimana dengan skala prioritasmu? | Hei, ingat Ayahmu! | Kamu kira siapa yang akan menjaga Ayah jika seandainya peperangan di perbatasan sampai di kota? | Tapi ini kan panggilan kerajaan, siapa yang bosa menolak? | Atau aku tolak saja, aku kan perempuan.. wajar. | Tapi nanti akan mencoreng nama keluarga, menolak pengabdian pada kerajaan.. | Jadi ini bagaimana!? | Ah, aku serba salah.. seandainya saja aku --

"klatak.. klatak.. klatak.." suara tutup panci yang bergoyang, menahan uap dari air mendidih didalamnya, memecah klimaks dari konferensi besar dalam kepalanya. Refleks cepat, Serra melompat dari tempat duduk dan memasukkan sebatang kayu manis dan satu helai daun mint, lalu mengaduknya dengan mata terfokus pada tembok kayu -- melanjutkan konferensi besar dipikirannya. Namun tidak berlangsung lama karena terganggu oleh suara langkah ayahnya yang berjalan menyeret di atas sandal jerami. Wajah Serra menegang dan bibirnya terkatup rapat, matanya terasa panas dan mulai terasa sensasi yang tertahan di kerongkongannya. aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika harus keluar dari rumah. Jika belum pergi saja aku sudah serindu ini, bagaimana dengan nanti? Jika belum pergi saja sudah sekhawatir ini, bagaimana dengan nanti?