Wajah tua itu tersenyum dalam tidurnya, terdengar sedikit dengkuran pada nafasnya. Helai-helai putih pada rambutnya bertambah banyak, kerutan diwajahnya juga semakin menebal. Bagaimana tidak? Hasil penjualan dari toko roti keluarga itu menurun drastis setelah adanya invasi dari kerajaan militan di perbatasan tiga bulan yang lalu. Warga sekitar lebih memilih untuk berhemat dan membeli makanan pokok, seperti beras, menyimpan apa yang dimiliki untuk antisipasi kemungkinan terburuk. Toko roti yang biasa ramai oleh orang-orang beragam itu, kini menjadi sepi, hanya tersisa beberapa pelanggan tetap yang masih meminta pesanan. Itupun kadang belum bisa menutupi modal yang dikeluarkan dalam satu hari. Rugi. Tapi paling tidak, suasana pondok kayu itu kembali pada fungsi utamanya -- seperti rumah biasa yang hangat dan nyaman. Walaupun penghuni pondok itu tinggal seorang ayah dan satu putrinya saja.
Masih mengintip ayahnya dari balik tirai, Serra, menampakkan wajah lelah dan pundak yang tak lagi tegak. Jerawatnya juga tidak kalah banyak dengan beban yang ia rasakan, yang berhasil membuatnya gagal menutup mata semalaman. Sisa bau hujan tadi malam menulusuri lubang hidung dan saluran pernafasannya saat ia menarik nafas panjang, menelan bulat-bulat kegelisahan yang seakan-akan ada di depan mata. Serra teringat percakapan seminggu yang lalu, saat sarapan pagi di ruang saji, saat usulannya yang baru saja tersaji langsung dimuntahkan oleh ayahnya.
"Yah, bagaimana kalau kita ikut jual beras saja!? Bulan ini aku ingin makan enak.."
"Ayah tidak mau menambah persaingan penjual beras yang sudah sangat ketat.. Lagian, ini bisnis keluarga yang sudah terkenal di kota. Ayah tidak mau menukar brand yang sudah susah payah dirintis oleh Nenek dan Kakekmu dengan sejumlah keuntungan yang belum pasti."
"Oh, ayolaah.." keluhan itu hanya dijawab dengan dehem singkat dari ayahnya yang dilanjutkan dengan suara sruputan teh panas.
Perempuan 20 tahun yang tampak seperti anak 15 tahun itu hanya bisa menguap jengkel di sela-sela tirai kamar ayahnya, mengurungkan niat jahil untuk menyelipkan tiruan serangga dari bahan karet yang sudah siap di saku daster batiknya. Tapi bukan makan enak yang kali ini ia pikirkan, ada hal lain -- sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi oleh ayahnya. Surat itu. Surat yang terbalut dalam kain berwarna biru.
****
Dapur dalam pondok itu memiliki kesan tua dan tradisional. Beberapa bagian dari kayunya sudah sedikit lapuk dan berlumut. Tungkunya sudah mengerak dan berwarna tidak jelas kecoklatan. Serra meraih panci yang tidak kalah tuanya dengan tungku itu, dua cangkir keramik, dan toples berisi madu. Memilin-milin jari sambil menunggu air mendidih, ia masih memikirkan yang tidak pernah terpikirkan. Surat dalam kain biru itu masih menghantuinya. Apa semua akan baik-baik saja kalau aku pergi? | Siapa yang akan menemani Ayah nanti? | Bagaimana nasib toko roti ini? | Kamu tega? | Bagaimana dengan skala prioritasmu? | Hei, ingat Ayahmu! | Kamu kira siapa yang akan menjaga Ayah jika seandainya peperangan di perbatasan sampai di kota? | Tapi ini kan panggilan kerajaan, siapa yang bosa menolak? | Atau aku tolak saja, aku kan perempuan.. wajar. | Tapi nanti akan mencoreng nama keluarga, menolak pengabdian pada kerajaan.. | Jadi ini bagaimana!? | Ah, aku serba salah.. seandainya saja aku --
"klatak.. klatak.. klatak.." suara tutup panci yang bergoyang, menahan uap dari air mendidih didalamnya, memecah klimaks dari konferensi besar dalam kepalanya. Refleks cepat, Serra melompat dari tempat duduk dan memasukkan sebatang kayu manis dan satu helai daun mint, lalu mengaduknya dengan mata terfokus pada tembok kayu -- melanjutkan konferensi besar dipikirannya. Namun tidak berlangsung lama karena terganggu oleh suara langkah ayahnya yang berjalan menyeret di atas sandal jerami. Wajah Serra menegang dan bibirnya terkatup rapat, matanya terasa panas dan mulai terasa sensasi yang tertahan di kerongkongannya. aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika harus keluar dari rumah. Jika belum pergi saja aku sudah serindu ini, bagaimana dengan nanti? Jika belum pergi saja sudah sekhawatir ini, bagaimana dengan nanti?
No comments:
Post a Comment